HARGA cabai rawit di pasar-pasar tradisional Kabupaten Trenggalek mengalami fluktuasi.
Harga tertinggi kurun tahun 2025 sempat menyentuh Rp 110 ribu per kilogram (Kg), namun harga itu berangsur menurun.
Fenomena naik-turun (fluktuasi) harga cabai rawit berimbas terhadap daya beli konsumen melesu. Para konsumen juga sering mengeluhkan fluktuasi harga cabai rawit.
Seperti halnya di Pasar Basah Trenggalek, konsumen cabai rawit memiliki kecenderungan untuk mengurangi daya beli ketika harga cabai mahal.
“Dari biasanya beli 1 Kg, jadi setengahnya (saat harga mahal, Red),” ungkap Nur Aini, Selasa (25/3/2025) pagi.
Serupa dengan konsumen lain, Nita mengaku memilih hal yang sama (mengurangi daya beli, Red) ketika harga cabai rawit mahal.
“Iya Mas, saya beli separuhnya saja,” ujarnya.
Para konsumen cabai rawit pun berharap supaya harga cabai rawit bisa stabil.
Keluhan masyarakat itu menjadi PR pemerintah agar segera menemukan cara untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium) dalam komoditas cabai rawit.
Direspons langsung oleh Kepala Bidang Tanaman Pangan Hortikultura (TPH) Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertapan) Trenggalek, Purwanto pada Selasa (25/3/2025) sore.
Purwanto menuturkan, fluktuasi harga cabai rawit bisa terjadi karena hukum ekonomi. Saat permintaan pasar lebih besar dibandingkan jumlah barang yang beredar, maka harga barang berpotensi naik.
Berdasarkan hukum ekonomi itu pula, ketika produksi cabai rawit merosot imbas cuaca hujan.
Kejadian itu bisa mempengaruhi pasokan barang di pasar. Tak jarang harga cabai rawit menjadi naik.
“Pertama, pasokan di musim penghujan ini sangat minim. Kedua, minat petani tanam cabai rawit rendah karena dihadapkan dengan risiko besar gagal panen saat musim hujan,” ungkapnya.
Purwanto mengaku upaya menyetabilkan harga komoditas cabai sudah mendapat atensi dari pemerintah kabupaten (Pemkab) Trenggalek, salah satunya melalui bidang TPH Dispertapan Trenggalek.
Namun, minimnya anggaran menjadi salah satu hambatan yang menyebabkan tidak terlalu berdampak signifikan.
“Kita secara bidang sebenarnya ada, tapi karena anggaran terbatas menjadi kurang bereaksi di pasar,” tambahnya.
Di bidang TPH, Purwanto menyebut, dispertapan hanya dapat memberikan bantuan dalam bentuk benih cabai rawit.
“Kalau sekarang terima benih, hasil panennya itu masih dua bulan ke depan,” ujarnya.
Sedangkan intervensi kebijakan secara umum, lanjut dia, upaya pengendalian harga cabai rawit rutin dibahas di Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
“Mulai dari operasi pasar, sosialiasi Pekarangan Pangan Lestari (P2L) hingga pemanfaatan smart green house,” ucapnya.
Sosialiasi P2L termasuk mengajak masyarakat menanam tanaman holtikultura di polibag.
Jenis tanaman yang menjadi prioritas meliputi cabai dan bawang merah, sebab harga dua komoditas itu dapat memicu inflasi.
Apabila masyarakat antusias, P2L dapat membantu memenuhi konsumsi cabai per Kartu Keluarga (KK).
“Jadi minimal, kalau bisa menanam per KK 10 batang, itu bisa mengurangi kebutuhan mereka, sehingga tidak harus membeli ke pasar,” tuturnya.
Serupa sosialisasi P2L, Purwanto menambahkan, sosialiasi juga disisipkan dalam kegiatan yang melibatkan kelompok-kelompok, salah satunya Kelompok Wanita Tani (KWT).
“Ada juga demplot pertanian yang tersebar di 14 kecamatan. Udah berjalan, ini kita terus monitoring,” ujarnya.
“Di lapangan, antusias menanam cabai sudah banyak, tiap ppp demplot ada 25 kelompok, kalau dihitung sudah cukup banyak,” pungkasnya.***